Senin, September 22, 2008

Ditemukan FosiL pemburu purba di Flores


JRR Tolkien dalam buku legendarisnya, Lord of The Ring, menempatkan para hobbit sebagai tokoh sentral yang banyal akal dan pemberani meski tingginya tak lebih dari satu meter. Dalam kehidupan nyata, dunia baru saja dihebohkan oleh temuan fosil manusia seukuran hobbit di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Dinamai homo floresiensis, mereka sudah mampu membuat peralatan dari batu, suka berburu stegodon (gajah purba) dan komodo raksasa, serta sudah memasak dengan api.

Diumumkan hari Kamis (28/10) dalam konferensi pers di Sydney, Australia, hasil penggalian bersama ilmuwan Indonesia dengan para ilmuwan internasional itu membuktikan betapa beragamnya spesies nenek moyang manusia.

“Dengan ditemukannya spesies manusia yang endemik di Flores, bukan tidak mungkin ditemukan pula populasi serupa di Lombok, Sumbawa, Timor, dan barangkali juga Sulawesi. Mereka akan sangat berbeda perkembangannya karena kawasannya terisolir,” papar Mike Morwood, lektor kepala University of New England, Australia, ketua proyek ini seperti dikutip Reuters.

MENURUT Tony Djubiantono, Asisten Deputi Arkeologi Nasional (dulu Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), temuan ini setidaknya memiliki dua arti penting bagi dunia arkeologi Indonesia. Pertama, adanya temuan jenis homo erectus di Flores ini semakin menguatkan hipotesis tentang adanya kelanjutan antara manusia purba yang ditemukan di Jawa dan yang ada di Australia. “Bahwa, pada masa itu ada semacam migrasi dari barat ke timur, kemudian turun ke selatan,” kata Tony.

Setelah berbagai temuan homo erectus di Pulau Jawa, seperti manusia Trinil, Sangiran, dan Wajak di Tulung Agung yang berasal dari masa 40.000 tahun lalu, informasi tentang keberadaan mereka seolah terputus. Para ahli arkeologi kerap menyebutnya dengan istilah missing link, apalagi kemudian tiba-tiba di Mungo (Australia) ditemukan homo erectus dari masa yang jauh lebih muda, yakni sekitar 16.000 tahun lalu.

Akan tetapi, demikian Tony Djubiantono, dengan adanya temuan di Flores ini-yang berdasarkan hasil dating menunjukkan dari masa antara 18.000 dan 30.000 tahun lalu-hipotesis yang sempat disusun oleh para ahli bahwa ada keberlanjutan kehidupan antara manusia purba di Jawa dan Australia melalui pola migrasi dari barat ke timur menjadi semakin jelas.

“Khusus bagi kita, ternyata pulau-pulau di Nusa Tenggara mempunyai potensi kearkeologian yang tinggi,” ujarnya.

Arti lain dari temuan ini, kata Tony, sekaligus menunjukkan bahwa fosil-fosil dari kehidupan prasejarah itu tidak hanya terkonsentrasi di Jawa. “Artinya, bukan tidak mungkin di pulau-pulau lain ada sisa-sisa manusia purba itu,” katanya menambahkan.

Keyakinan serupa juga dikemukakan Prof Dr RP Soejono, arkeolog senior yang merintis penelitian lapangan di wilayah Flores. Bahkan, dalam tim peneliti gabungan bersama sejumlah peneliti dari berbagai negara ini pun Soejono tercatat sebagai salah satu ketua tim.

“Indonesia itu kaya akan sejarah. Hanya saja, perhatian pemerintah kita yang sangat kurang. Hampir-hampir tak ada dana yang cukup untuk melakukan penelitian. Akibatnya, ya, seperti sekarang, kita seperti mengemis kepada pihak asing agar mau bekerja sama untuk membiayai kegiatan penelitian di sini. Karena mereka yang punya uang, mereka pula yang mengumumkan hasilnya. Di luar negeri. Padahal sebetulnya penelitian itu belum selesai. Alhasil, mereka yang dapat nama dan kita cuma seperti jadi penonton,” kata Soejono gusar atas pengumuman tersebut.

HOMO floresiensis memang tampaknya merupakan keturunan homo erectus yang otaknya sudah berukuran besar, setinggi manusia modern, dan menyebar dari Afrika ke Asia sekitar dua juta tahun lalu.

“Manusia Flores” diduga menjadi mini-tinggi hanya satu meter-karena lingkungan tempat hidupnya terisolasi, keterbatasan makanan, dan kurangnya predator. Otaknya yang juga menyusut lebih kecil dari otak simpanse ternyata tidak membatasi perkembangan kepandaiannya.

Manusia pendek yang digambarkan sudah tidak berbulu, berkulit hitam, berkepala sebesar jeruk bali dengan hidung datar dan mata cekung itu sudah mampu melakukan berbagai pekerjaan yang kompleks.